MEMAKNAI HARI RAYA ‘IDUL FITRI

Dikutip dari : Buletin Jum’at AL – BINA, 3 Syawal 1429 H


Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan dua hari kalian dengan dua hari yang lebih baik darinya, yaitu Iedul Adha dan Iedul Fitri ”  (HR. Nasa’i)

Seiring dengan cepatnya waktu berlalu, ternyata tanpa terasa ramadhan begitu cepatnya berjalan meninggalkan kita.  Padahal kita belum maksimal membaca Al Qur’an, belum maksimal shalat malam, belum maksimal melaksanakan shiyam, dan juga belum optimal untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya.  Setetes air mata mengalir dari ujung mata, perasaan sedih bergemuruh dalam kalbu.  Ya Allah, akankah Ramadhan tahun depan kami masih dapat bertemu lagi dengan Bulan Ramadhan?

Dahulu para salafuna shaleh, air mata mereka meleleh membasahi pipi dan lihyah lantaran Ramadhan pergi meninggalkan mereka.  Terkadang dari lisan mereka terucap doa, sebagai ungkapan kerinduan akan datangnya ramadhan dan ramadhan : Ya Allah SWT, anugerahkanlah lagi kepada kami Bulan Ramadhan, dan Bulan Ramadhan, dan Bulan Ramadhan…  Suasana seperti ini bahkan berlarut hingga muncul keheningan yang demikian heningnya pada malam hari raya Iedul Fitri sangat sepi dan hening, seolah mereka meratapi kepergian ‘tamu istimewa’ mereka, yaitu Bulan Ramadhan.

Namun akankah kesedihan itu terus berlarut-larut, sementara ajal kita ditentukan oleh Allah SWT.  Dan haruskah kita bersedih, sedangkan Iedul Fitri merupakan hari raya seluruh kaum muslimin yang kita dianjurkan untuk bergembira pada hari tersebut?  Lantas, amalan apakah yang seharusnya kita laksanakan menjelang maupun pada saat Iedul Fitri.  Berikut kutipan beberapa hadist mengenai Iedul Fitri, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.  Terdapat beberapa pendapat dalam memaknai Iedul Fitri, yang merupakan hari raya umat Islam di seluruh alam.  Jika dilihat dari segi bahasanya, Iedul Fitri terdiri dari dua kata yang masing-masing dari kata ini memiliki maknanya tersendiri.  Ada yang mengatakan bahwa “Ied” yang berarti kembali.  Namun ada juga yang menterjemahkan “Ied” ini sebagai hari raya, atau hari berbuka.  Pendapat yang kedua ini menyandarkan pada hadist dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari dimana kalian berbuka, dan Idul Adha adalah hari dimana kalian berkurban” (HR. Ibnu Majah).  Ada yang menterjemahkan fitri dengan “berbuka” karena secara bahasa artinya berbuka setelah berpuasa.  Namun di samping itu, ada juga yang menterjemahkan fitri dengan “fitrah”, yang berarti suci dan bersih.  Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada hadist Rasulullah SAW.  Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih/suci).  Orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari).

Dari makna secara harfiah ini, dapat disimpulkan adanya dua makna dalam menterjemahkan Iedul Fitri, yaitu :

  1. Iedul Fitri diterjemahkan dengan kembali kepada fitrah atau kesucian, karena telah ditempa dengan ibadah sebulan penuh di Bulan Ramadhan.  Dan karenanya ia mendapatkan ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.

  2. Iedul Fitri diterjemahkan dengan hari raya berbuka, dimana setelah sebulan penuh ia berpuasa karena Allah SWT, pada hari Idul Fitri ia berbuka dan tidak berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Dari kedua makna Iedul Fitri di atas adalah benar dan tepat.  Dan kedua makna tersebut saling melengkapi dan tidak bertentangan sama sekali.  Sehingga Iedul Fitri adalah hari raya umat Islam yang dianugerahkan oleh Allah SWT dimana insan dikembalikan pada fitrahnya dengan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sekaligus sebagai hari bergembiranya kaum muslimin dimana diperintahkan untuk makan dan minum (baca : berbuka) sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.  Oleh karena itulah, terdapat doa yang sering dibacakan sesama kaum muslimin ketika berjabat tangan dan saling memaafkan, yaitu : Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu).  Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal
ibadah kita semua.

Hanya terkadang, masyarakat kita lebih suka “menyunat” doa di atas, sehingga yang diucapkan hanya kalimat, ‘Minal Aidin Wal Faidzin’ saja.  Bahkan lebih parah lagi ketika Minal Aidin Wal Faidzin diterjemahkan dengan mohon maaf lahir dan bathin.  Tetapi bisa kita maklumi karena keterbatasan masyarakat kita pada umumnya, asalkan masih dilandasi dengan niatan yang ikhlas hanya mengharap ridha Allah SWT, semoga tetap Allah catat sebagai amal ibadah di sisinya.

Bagi kita semua saat ini, bagaimana kita dapat menghidupkan Iedul Fitri, atau dengan kata lain memaknai Iedul Fitri sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.  Dari beberapa riwayat, terdapat beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam Ied atau pada hari raya Iedul Fitri, di antaranya adalah :

  1. Disunnahkan untuk Qiyamul Lail pada malam hari raya Iedul Fitri.  Dalam sebuah riwayat digambarkan : dari Abu Umamah ra. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melaksanakan qiyamul lail pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Idul Adha), dengan ikhlas karena Allah SWT, maka hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia” (HR. Ibnu Majah).

  2. Disunnahkan pada pagi hari raya Idul Fitri untuk mandi, menggunakan minyak wangi, dan berpakaian yang rapi.  Dalam sebuah hadist diriwayatkan dari Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa mandi pada Hari Jum’at, Hari Arafah, Hari Idul Fitri, dan Hari Idul Adha.  Dan Fakih (perawi hadist ini) senantiasa memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari tersebut” (HR. Ahmad).  Dalam riwayat lain juga digambarkan dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar senantiasa mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat” (HR. Malik).

  3. Mendatangi tempat-tempat dilaksanakannya shalat Ied.  Dalam sebuah hadist diriwayarkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan anak-anak wanitanya dan istri-istrinya untuk keluar (mendatangi tempat shalat Ied) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Ahmad).  Dalam riwayat lain dijelaskan dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied.  Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin.  Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut” (HR. Bukhari).

Mendatangi tempat dilaksanakannya shalat Ied dengan berjalan kaki.  Dalam hal ini juga perlu diperhatikan situasi dan kondisinya.  Jika tempat shalatnya cukup jauh dan justru menyulitkan dengan berjalan kaki, maka tidak boleh dipaksakan.  Demikian juga dengan orang yang udzur dan sakit.  Dan memakan sesuatu sebelum berangkat melaksanakan shalat Ied.  Dalam sebuah riwayat dijelaskan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Termasuk sunnah jika kamu keluar mendatangi tempat shalat dengan berjalan kaki dan memakan sesuatu sebelum pergi ke tempat shalat Ied” (HR. Turmudzi).

  1. Bertakbir mengagungkan Asma Allah SWT, dalam sebuah riwayat digambarkan dari Ummu Athiyah ra. berkata, “Kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied.  Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin.  Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut” (HR. Bukhari).

  2. Melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari tempat dilaksanakannya Shalat Ied.  Dalam sebuah hadist diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. “bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat Ied) pada hari Ied melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat tersebut melalui jalan yang berbeda”.

  3. Saling bermaaf-maafan seraya mendoakan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita.  Dalam sebuah hadist diriwayatkan “dari Khalid bin Ma’dan ra. berkata, Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada hari Ied, lalu aku mengatakan ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, Taqabballah Minna Wa Minka'” (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubra).

  4. Boleh mengadakan hiburan pada hari raya Ied, dalam sebuah riwayat digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar pada waktu itu (Hari Ied) menghardik dua hamba sahaya perempuan yang mendendangkan syair di rumah Aisyah, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita” (HR. Nasa’i).

Wallahu a’lam bish shawab ***

.